Haid
Secara
bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang syar`i,
haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari organ khusus
wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena sakit, luka atau
keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya berbeda-beda
tergantung keadaan masing-masing wanita.
Ulama
berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita mengalami
haid. Berkata Ad Darimi rahimahullah setelah menyebutkan perselisihan yang
ada: “Semua pendapat ini menurutku salah! Karena yang menjadi rujukan dalam
semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur berapa saja
didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap
darah haid, wallahu a`lam”.
Pendapat
Ad Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Syaikh Muhammad
Shalih Al Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan Rasul-Nya
dengan adanya darah tersebut. Allah dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur
tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan
batasan umur .
Dalam
permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir
rahimahullah berkata: “Berkata sekelompok ulama: “Tidak ada batasan
minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid“. Pendapat ini yang
dibenarkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama,
Allah Ta`ala berfirman :
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.
Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang
haid dan jangan kalian mendekati mereka hingga mereka suci dari haid“.
(Al Baqarah: 222)
Dalam
ayat di atas Allah menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang sedang
haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari. Jadi hukum
haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun lama waktunya.
Kedua,
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang
haid saat ia sedang melakukan ibadah haji :
“Lakukanlah
semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di
Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30,
Syarah Nawawi)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci
dari haid dan beliau tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi
patokannya ada tidaknya darah.
Ketiga,
batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini tidak ada
dalilnya dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam Padahal hal ini sangat perlu untuk diterangkan bila memang
harus ada pembatasan.
Keempat,
banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat
batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat
dituju, namun ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Dengan
demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan
disebabkan luka atau semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada
batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu keluar terus menerus tidak
pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan maka darah
itu adalah darah istihadhah.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar
dari rahim adalah darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah
istihadhah“.
Haidnya Wanita Hamil
Apakah
wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan
terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap keluar
darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi sebagai darah
haid karena tidak ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah yang menyebutkan
mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah pendapatnya Imam Malik ,
Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah
.
Kejadian Haid
Ada
beberapa macam kejadian haid.
Pertama, bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang
wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut
sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan
enam hari haidnya berhenti.
Kedua, terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal
kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia
melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.
Terhadap
dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun
yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid.
Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja apakah waktu
haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja apakah
waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi`i dan yang
dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Ketiga, warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan.
Apabila cairan ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid
sebelum suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar
masa haid, cairan tersebut bukan darah haid. Ummu `Athiyah radliallahu’anha
mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh
dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid”. (HR. Abu Daud.
Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya namun tanpa lafaz
“setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan Bab
“Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid”.)
Keempat, keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu
yang basah (ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada
masa haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia
terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana
keadaan cairan kuning atau keruh.
Hukum-Hukum Haid
Banyak
sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya ruang
maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:
Shalat dan Puasa
Wanita
haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun
yang sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan hal ini
ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan
kurang agama dan akalnya, beliau bersabda :
“Bukankah
jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka
itulah yang dikatakan setengah agamanya“. (HR. Bukhari dalam shahihnya
no. 304, 1951 dan Muslim no. 79)
Adapun
puasa wajib (Ramadlan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari
yang lain saat suci, sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya,
berdasarkan hadits Aisyah radliallahu’anha, ketika ada yang bertanya
kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadla shalatnya bila
telah suci dari haid ?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah
engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat“. (HR.
Bukhari no. 321)
Dalam
riwayat Muslim Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami
hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat“.
(HR. Muslim no. 69)
Thawaf di Baitullah
Wanita
haid diharamkan untuk thawaf di Ka`bah baik thawaf yang wajib maupun yang
sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah
radliallahu anha yang ditimpa haid saat sedang melakukan amalan haji :
“Lakukanlah
semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di
Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30,
Syarah Nawawi)
Adapun
amalan haji yang lain seperti sa`i, wuquf di Arafah, dan sebagainya tidak ada
keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.
Jima’ (bersetubuh)
Diharamkan
bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya)
dan diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan
suaminya untuk melakukan hal tersebut. Karena Allah ta`ala berfirman:
“…maka
jauhilah (tidak boleh jima`) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah
kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima`) hingga mereka suci“. (Al
Baqarah: 222)
Selain
jima`, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang
sedang haid karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Perbuatlah
segala sesuatu kecuali nikah (yakni jima`)“. (HR. Abu Daud no. 2165,
dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam
kitab beliau “Shahih Sunan Abi Daud” no. hadits 1897)
Talak
Ketika
istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman
Allah ta`ala:
“Wahai
Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah
mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. ( Ath Thalaq: 1)
Ibnu
Abbas radliallahu’anhuma menafsirkan: “Tidak boleh seseorang menceraikan
istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam
keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi
bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya
(menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci,
setelah itu ia bisa menceraikannya”. (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Jadi
bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam
keadaan haid) dan belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini
diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’, Mujahid, Al Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah,
Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur’anil Adhim
4/485)
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan: “Ada tiga keadaan yang
dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh
mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):
Pertama, apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si
istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama
nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada `iddah bagi si wanita dan tidak
haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua, apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena
lamanya `iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan
anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah ta`ala
berfirman :
“Wanita-wanita
yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang
dikandungnya“. (Ath Thalaq: 4)
Ketiga, apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan
cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan
suaminya atau diistilahkan khulu`.
Hal
ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radliallahu’anhuma dalam shahih Bukhari
(no. 5273, 5374, 5275, 5276). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin
Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam lalu menyatakan
keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan
kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan
menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi sama sekali tidak menanyakan
kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.
Masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya
Perhitungan
masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil
adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah ta`ala :
“Wanita-wanita
yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga
quru…” ( Al Baqarah: 228)
Mandi Haid
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy
radliallahu’anha :
“Tinggalkanlah
shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah
selesai haidmu mandilah dan shalatlah“. (HR. Bukhari no. 325)
Yang
wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga
pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika beliau ditanya oleh
seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau sebagaimana
dikabarkan Aisyah bersabda :
“Ambillah
secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya”. Wanita
itu bertanya: “Bagaimana cara aku bersuci dengannya ?” Nabi menjawab :
“Bersucilah dengannya”. Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi
menjawab: “Subhanallah, bersucilah”. Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita
tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan
kain tersebut“. (HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)
Atau
lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu Syakl
bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda:
“Salah
seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan
membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok
dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia
tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik
lalu ia bersuci dengannya…”. (HR. Muslim no. 61)
Apabila
wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib
baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada
waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air
namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya
bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi
hingga hilang darinya udzur. Wallahu a`lam bishawwab. Demikian pembahasan
haid secara ringkas yang dapat kami persembahkan untukmu Muslimah….!
|
Senin, 26 Oktober 2015
FIQIH WANITA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar